Peristiwa-peristiwa Heroik setelah Kemerdekaan Indonesia
Pada 1 Maret 1942, tentara Jepang
mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian, tepatnya, 8 Maret, pemerintah
kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak itu, Indonesia
diduduki oleh Jepang.
Tiga tahun kemudian, Jepang
menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh
Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada 6 dan 9
Agustus 1945. Mengisi kekosongan tersebut, Indonesia kemudian memproklamirkan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Menyerahnya Jepang kepada sekutu
pada tanggal 14 Agustus 1945 membawa hikmah yang sangat besar kepada
perkembangan bangsa Indonesia sebagai sebuah Negara yanag berdaulat. “Vacuum of
Power”, yaitu kekosongan kekuasaan yang terjadi di Indonesia dapat dimanfaatkan
oleh para “Founding fathers” untuk memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17
Agustus 1945 dan dilanjutkan dengan upaya melengkapi kelengkapan Negara melalui
sidang PPKI tanggal 18, 19 dan 22 Agustus 1945. Maka lengkap dan sah lah
Indonesia sebagai sebuah Negara berdaulat dengan nama Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dengan menyerahnya Jepang terhadap
Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, dan disusul dengan diproklamarkan Republik
Indonesia 17 Agustus 1945, maka seharusnya tamatlah kekuasaan Jepang di
Indonesia. Akan tetapi setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang
Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah
pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah.
Berikut ini adalah daftar-daftar
peristiwa heroic yang ada di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia
di kumandangkan.
1.
Peristiwa 10 NOVEMBER 1945
Setelah terbunuhnya Brigadir
Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan
ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang
bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan
dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah
jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut kemudian
dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk
banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak
Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan
Tentara Keamanan Rakyat TKR juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain
itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat,
termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya
kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di
Indonesia.
Pada 10 November pagi, tentara
Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan
pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian
mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal
perang.
Inggris kemudian membombardir kota
Surabaya dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia
kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk.
Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil
jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal maupun terluka.
Bung Tomo di Surabaya,
salah satu pemimpin revolusioner Indonesia yang paling dihormati. Foto terkenal
ini bagi banyak orang yang terlibat dalam Revolusi Nasional Indonesia mewakili jiwa perjuangan revolusi utama
Indonesia saat itu.
Di luar dugaan pihak Inggris yang
menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari,
para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat
perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah
serangan skala besar Inggris.
Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari
kalangan ulama
serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai
milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada
pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) shingga
perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari
minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara
spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala
besar ini mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya
akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.
Setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 - 2000 tentara. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.
Banyaknya pejuang yang gugur dan
rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang
sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.
2. Pertempuran 5 Hari di Semarang
Pertempuran 5
Hari atau Pertempuran 5 Hari di Semarang adalah serangkaian pertempuran antara
rakyat Indonesia di Semarang mela
wan Tentara Jepang. Pertempuran ini adalah perlawanan terhebat rakyat Indonesia terhadap Jepang pada masa transisi (bedakan dengan Peristiwa 10 November - perlawanan terhebat rakyat Indonesia dalam melawan sekutu dan Belanda).
wan Tentara Jepang. Pertempuran ini adalah perlawanan terhebat rakyat Indonesia terhadap Jepang pada masa transisi (bedakan dengan Peristiwa 10 November - perlawanan terhebat rakyat Indonesia dalam melawan sekutu dan Belanda).
Pertempuran ini dimulai pada
tanggal 15 Oktober 1945 (walau kenyataannya suasana sudah mulai memanas
sebelumnya) dan berakhir tanggal 20 Oktober 1945.
Berita Proklamasi dari Jakarta
akhirnya sampai ke Semarang. Seperti kota-kota lain, di Semarang pun rakyat
khususnya pemuda berusaha untuk melucuti senjata Tentara Jepang Kidobutai yang
bermarkas di Jatingaleh. Pada tanggal 13 Oktober, suasana semakin mencekam,
Tentara Jepang semakin terdesak. Tanggal 14 Oktober, Mayor Kido menolak
penyerahan senjata sama sekali. Para pemuda pun marah dan rakyat mulai bergerak
sendiri-sendiri. Aula Rumah Sakit Purusara dijadikan markas perjuangan. Para
pemuda rumah sakit pun tidak tinggal diam dan ikut aktif dalam upaya menghadapi
Jepang. Sementara itu taktik perjuangan pemuda menggunakan taktik gerilya.
Setelah pernyataan Mayor Kido, Pada
Minggu, 14 Oktober 1945, pukul 6.30 WIB, pemuda-pemuda rumah sakit mendapat
instruksi untuk mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS
Purusara. Mereka menyita sedan milik Kempetai dan merampas senjata mereka. Sore
harinya, para pemuda ikut aktif mencari tentara Jepang dan kemudian
menjebloskannya ke Penjara Bulu. Sekitar pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang
bersenjata lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti delapan
anggota polisi istimewa yang waktu itu sedang menjaga sumber air minum bagi
warga Kota Semarang Reservoir Siranda di Candilama. Kedelapan anggota Polisi
Istimewa itu disiksa dan dibawa ke markas Kidobutai di Jatingaleh. Sore itu
tersiar kabar tentara Jepang menebarkan racun ke dalam reservoir itu. Rakyat
pun menjadi gelisah.
Selepas Magrib, ada telepon dari
pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang memberitahukan agar dr. Kariadi, Kepala
Laboratorium Purusara segera memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang
menebarkan racun itu. Dokter Kariadi kemudian dengan cepat memutuskan harus
segera pergi ke sana. Suasana sangat berbahaya karena tentara Jepang telah
melakukan serangan di beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir
Siranda. Isteri dr. Kariadi, drg. Soenarti mencoba mencegah suaminya pergi
mengingat keadaan yang sangat genting itu. Namun dr. Kariadi berpendapat lain,
ia harus menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan
warga Semarang. Akhirnya drg. Soenarti tidak bisa berbuat apa-apa. Ternyata
dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda itu, mobil yang ditumpangi dr.
Kariadi dicegat tentara Jepang di Jalan Pandanaran. Bersama tentara pelajar
yang menyopiri mobil yang ditumpanginya, dr. Kariadi ditembak secara keji. Ia
sempat dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika tiba di kamar
bedah, keadaan dr. Kariadi sudah sangat gawat. Nyawa dokter muda itu tidak
dapat diselamatkan. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan.
Sekitar pukul 3.00 WIB, 15 Oktober
1945, Mayor Kido memerintahkan sekitar 1.000 tentaranya untuk melakukan
penyerangan ke pusat Kota Semarang. Sementara itu, berita gugurnya dr. Kariadi
yang dengan cepat tersebar, menyulut kemarahan warga Semarang. Hari berikutnya,
pertempuran meluas ke berbagai penjuru kota. Korban berjatuhan di mana-mana.
Pada 17 Oktober 1945, tentara Jepang meminta gencatan senjata, namun diam-diam
mereka melakukan serangan ke berbagai kampung. Pada 19 Oktober 1945,
pertempuran terus terjadi di berbagai penjuru Kota Semarang. Pertempuran ini
berlangsung lima hari dan memakan korban 2.000 orang Indonesia dan 850 orang
Jepang. Di antara yang gugur, termasuk dr. Kariadi dan delapan karyawan RS
Purusara.
Berdasarkan kejadiannya, kronologis
pertempuran lima hari di Semarang dapat dijabarkan sebagai berikut :
a)
7 Oktober
: Pemuda Semarang berusaha melucuti senjata Tentara Jepang di Jatingaleh.
Sementara di saat yang sama, pimpinan Jepang dan pemuda berunding mengenai
penyerahan senjata.
b)
13 Oktober
: Suasana semakin menegang dan Jepang semakin terdesak.
c)
14 Oktober
: Mayor Kido menolak penyerahan senjata. Pukul 06.30, Aula RS Purusara
dijadikan markas perjuangan dan pemuda mencegat serta memeriksa mobil Jepang
yang lewat. Mereka juga menyita sedan milik Kampetai. Sore harinya, pemuda
menjebloskan Tentara Jepang ke Penjara Bulu namun pukul 18.00 Jepang
melancarkan serangan mendadak kepada delapan polisi istimewa yang menjaga
Resevoir Siranda di Candi. Kedelapan Polisi itu disiksa dan sore itu juga
tersiatr kabar kalau Jepang menebar racun dalam reservoir tersebut. Selepas
Maghrib, dr. Kariadi memutuskan untuk segera memeriksa reservoir itu namun
istrinya, drg. Sonarti, mencoba mencegahnya karena ia berpendapat bahwa suasana
sedang sangat berbahaya namun tidak berhasil. Sayangnya, dalam perjalanan dr.
Kariadi dan beberapa tentara pelajar, mereka ditembak secara keji. Dr. kariadi
sempat dibawa ke rumah sakit sekitar namun tidak dapat diselamatkan. Selain
kejadian di atas, pada hari itu juga terjadi pemberontakan 4.000 tentara Jepang
di Cepiring.
d)
15
Oktober: Pukul 03.00, Mayor Kido menyuruh 1.000 tentara untuk melakukan
penyerangan ke pusat kota mendengar berita penangjkapann Jenderal Nakamura dan
berita gugurnya dr. Kariadi menyulut kemarahan warga Semarang. Di Semarang juga
terjadi penangkapan Mr. Wongsonegoro, Dr. Sukaryo, dan Sudanco Mirza Sidharta.
e)
16 Oktober
: Pertempuran terus berlanjut
f)
17 Oktober
: Jepang berunding dengan Mr. Wongsonegoro
g)
18 Oktober
: Ada perundingan gencatan senjata oleh KAsman Singodimejo dan Jenderal
Nakamura. Dalam perundingan ini, Jepang ingin agar senjata yang direbut segera
dikembalikan bila tidak Jepang akan meloakukan pengeboman pada tanggal 19
Oktober 1945 pukul 10.00.
h)
19 oktober
: Pukul 07.45, kedatangan Sekutu di pelabuhan Semarang dengan kapal HMS Glenry
mempercepat perdamaian antara Jepang dan rakyat sehingga perang berakhir.
i)
Mengenai
pertempuran lima hari di Semarang ini, ada beberapa tokoh yang terlbat adalah
sbb :
j)
dr.
Kariadi dr. Kariadi adalah dokter yang akan mengecek cadangan air minum di
daerah Candi yang kabarnya telah diracuni oleh Jepang. Beliau juga merupakan
Kepala Laboratorium Dinas Pusat Purusara.
k)
Mr.
Wongsonegoro Gubernur Jawa Tengah yang sempat ditahan oleh Jepang.
l)
Dr.
Sukaryo dan Sudanco Mirza Sidharta tokoh Indonesia yang ditangkap oleh Jepang
betrsama Mr. Wongsonegoro.
m)
Mayor Kido
Pimpinan Batalion Kido Butai yang berpusat di Jatingaleh.
n)
drg.
Soenarti istri dr. kariadi.
o)
Kasman
Singodimejo perwakilan perundingan gencatan senjata dari Indonesia.
p)
Jenderal
Nakamura Jenderal yang ditangkap oleh TKR di Magelang
Untuk memperingati Pertempuran 5
Hari di Semarang, dibangun Tugu Muda sebagai monumen peringatan. Tugu Muda ini
dibangun pada tanggal 10 November 1950. Diresmikan oleh presiden Ir. Soekarno
pada tanggal 20 Mei 1953. Bangunan ini terletak di kawasan yang banyak merekam
peristiwa penting selama lima hari pertempuran di Semarang, yaitu di Jl.
Pemuda, Jl. Imam Bonjol, Jl. Dr. Sutomo, dan Jl. Pandanaran dengan lawang sewu.
Selain pembangunan Tugu Muda, Nama dr. Kariadi diabadikan sebagai nama salah
satu rumah sakit di Semarang.
3.
Pertempuran
Ambarawa
Pertempuran
Ambarawa atau yang sering disebut sebagai palagan Ambarawa memang menarik.
Secara singkat, dapat diceritakan bahwa disebut Pertempuran Ambarawa karena
memang terjadinya di kota Ambarawa. Pertempuran itu sebenarnya sudah diawali
sejak Oktober 1945, di mana pada tanggal 20 Oktober 1945 tentara Sekutu
mendarat di Semarang di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Bethel.
Pada tanggal 20 Oktober 1945,
tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell mendarat di Semarang dengan
maksud mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang berada di Jawa Tengah.
Kedatangan sekutu ini diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik,
bahkan Gubernur Jawa Tengah Mr Wongsonegoro menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi
kelancaran tugas Sekutu, sedang Sekutu berjanji tidak akan mengganggu
kedaulatan Republik Indonesia.
Namun, ketika pasukan Sekutu dan
NICA telah sampai di Ambarawa dan Magelang untuk membebaskan para tawanan
tentara Belanda, para tawanan tersebut malah dipersenjatai sehingga menimbulkan
kemarahan pihak Indonesia. Insiden bersenjata timbul di kota Magelang,
hingga terjadi pertempuran. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai
penguasa yang mencoba melucuti Tentara Keamanan Rakyat dan membuat kekacauan. TKR Resimen Magelang
pimpinan Letkol. M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan mengepung
tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat
campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil menenangkan suasana. Kemudian
pasukan Sekutu secara diam-diam meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng
Ambarawa. Akibat peristiwa tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan
Letkol. M. Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap mereka. Gerakan mundur
tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh pasukan Angkatan
Muda di bawah pimpinan Oni
Sastrodihardjo yang diperkuat
oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta.
Tentara Sekutu kembali dihadang
oleh Batalyon I Soerjosoempeno di Ngipik. Pada saat pengunduran, tentara
Sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia di
bawah pimpinan Letkol. Isdiman berusaha membebaskan kedua desa tersebut,
namun ia keburu gugur terlebih dahulu. Sejak gugurnya Letkol. Isdiman, Komandan
Divisi V Banyumas, Kol. Soedirman merasa kehilangan seorang perwira terbaiknya
dan ia langsung turun ke lapangan untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kol.
Soedirman memberikan napas baru kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan
di antara komando-komando sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat.
Siasat yang diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua sektor. Bala
bantuan terus mengalir dari Yogyakarta, Solo,
Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang,
dan lain-lain.
Tanggal 23 November 1945
ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak dengan pasukan Sekutu
yang bertahan di kompleks gereja dan kerkhop Belanda di Jl. Margo Agoeng.
Pasukan Indonesia terdiri dari Yon. Imam Adrongi, Yon. Soeharto
dan Yon. Soegeng. Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan
Jepang dengan diperkuat tanknya, menyusup ke tempat kedudukan Indonesia dari
arah belakang, karena itu pasukan Indonesia pindah ke Bedono.
Pada tanggal 11 Desember 1945,
Kol. Soedirman mengadakan rapat dengan para Komandan Sektor TKR dan Laskar.
Pada tanggal 12 Desember 1945 jam 04.30 pagi, serangan mulai dilancarkan.
Pembukaan serangan dimulai dari tembakan mitraliur terlebih dahulu, kemudian
disusul oleh penembak-penembak karaben. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu
setengah jam kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa dikuasai oleh
kesatuan-kesatuan TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit. Kol. Soedirman
langsung memimpin pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang, atau
pengepungan rangkap dari kedua sisi sehingga musuh benar-benar terkurung.
Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya diputus sama sekali. Setelah
bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15 Desember 1945
pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu dibuat
mundur ke Semarang.
Kemenangan pertempuran ini kini
diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan
Darat atau Hari Juang Kartika.
4. Pertempuran Medan Area
Pada tanggal 24 Agustus 1945,
antara pemerintah Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda tercapai suatu
persetujuan yang terkenal dengan nama civil Affairs Agreement. Dalam
persetujuan ini disebutkan bahwa panglima tentara pendudukan Inggris di
Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama pemerintah Belanda.
Dalam melaksanakan hal-hal yang
berkenaan dengan pemerintah sipil, pelaksanaannya diselenggarakan oleh NICA
dibawah tanggungjawab komando Inggris. Kekuasaan itu kelak di kemudian hari
akan dikembalikan kepada Belanda. Inggris dan Belanda membangun rencana untuk memasuki berbagai kota strategis di Indonesia
yang baru saja merdeka. Salah satu kota yang akan didatangi Inggris dengan
“menyelundupkan” NICA Belanda adalah Medan.
Sementara di tempat lain pada
tanggal 27 Agustus 1945 rakyat Medan baru mendengar berita proklamasi yang
dibawa oleh Mr. Teuku Moh Hassan sebagai Gubernur Sumatera. Mengggapi berita
proklamasi para pemuda dibawah pimpinan Achmad lahir membentuk barisan Pemuda
Indonesia.
Pada tanggal 9 Oktober 1945 rencana dalam Civil
Affairs Agreement benar-benar dilaksanakan. Tentara Inggris yang diboncengi
oleh NICA mendarat di Medan. Mereka dipimpin oleh Brigjen T.E.D Kelly.
Awalnya mereka diterima secara baik
oleh pemerintah RI di Sumatra Utara sehubungan dengan tugasnya untuk
membebaskan tawanan perang (tentara Belanda). Sebuah insiden terjadi di hotel
Jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober 1945.
Saat itu seorang penghuni hotel
(pasukan NICA) merampas dan menginjak-injak lencana Merah Putih yang dipakai
pemuda Indonesia. Hal ini mengundang kemarahan para pemuda. Akibatnya terjadi
perusakan dan penyerangan terhadap hotel yang banyak dihuni pasukan NICA. Pada
tanggal 1 Desember 1945, pihak Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan
Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut kota Medan.
Sejak saat itulah Medan Area
menjadi terkenal. Pasukan Inggris dan NICA mengadakan pembersihan terhadap
unsur Republik yang berada di kota Medan. Hal ini jelas menimbulkan reaksi para
pemuda dan TKR untuk melawan kekuatan asing yang mencoba berkuasa kembali. Pada
tanggal 10 Agustus 1946 di Tebingtinggi diadakan pertemuan antara
komandan-komandan pasukan yang berjuang di Medan Area. Pertemuan tersebut
memutuskan dibentuknya satu komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat
Medan Area.
Pada tanggal 10 desember 1945,
Sekutu dan NICA melancarkan serangan besar-besaran terhadap kota Medan.
Serangan ini menimbulkan banyak koraban di kedua belah pihak. Pada bulan April
1946, Sekutu berhasil menduduki kota Medan. Pusat perjuangan rakyat Medan
kemudian dipindahkan ke Pemantangsiantar.
Untuk melanjutkan perjuangan di
Medan maka pada bulan Agustus 1946 dibentuk Komando Resimen Laskar Rakyat Medan
Area. Komandan initerus mengadakan serangan terhadap Sekutu diwilayah Medan.
Hampir di seluruh wilayah Sumatera terjadi perlawanan rakayat terhadap Jepang,
Sekutu, dan Belanda. Pertempuran itu terjadi, antara lian di Pandang, Bukit
tinggi dan Aceh.
5.
Peristiwa
Bandung Lautan Api
Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 24 Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung[1] membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer
dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.
Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945. Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka
menuntut agar semua senjata api yang ada
di tangan penduduk, kecuali TKR dan polisi, diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari
kamp tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai menganggu keamanan.
Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR tidak dapat dihindari.
Malam tanggal 24 November 1945, TKR dan
badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan
Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka
gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum
kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk
Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, TNI kala itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi
"bumihangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA.
Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis
Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di
hadapan semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 24 Maret 1946[2]. Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung.[rujukan?] Hari itu juga, rombongan besar penduduk
Bandung mengalir panjang meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran
kota berlangsung.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat
dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas
strategis militer. Di mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di udara
dan semua listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran
sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk
menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang
tersebut dengan dinamit. Gudang besar itu
meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di dalamnya. Staf
pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi
demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga ikut dalam rombongan
yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00
Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung
membakar kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap merupakan
strategi yang tepat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan
pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut, TRI
bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung.
Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya masih menjadi bahan perdebatan.
Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo, Halo
Bandung" secara resmi ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang para pejuang
kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke kota
tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.
Latar belakang Bandung Lautan Api, antara lain :
a)
Pasukan sekutu Inggris
memasuki kota Bandung dan sikap pasukan NICA yang merajalela dengan aksi
terornya.
b)
Perundingan antara
pihak RI dengan Sekutu/NICA, dimana Bandung dibagi dua bagian.
c)
Bendungan sungai
Cikapundung yang jebol dan menyebabkan banjir besar dalam kota.
d)
Keinginan sektu yang
menuntut pengosongan sejauh 11km dari Bandung Utara.
6.
Pertempuran
Margarana
Latar belakang munculnya puputan
Margarana atau pertempuran Margarana sendiri bermula dari Perundingan
Linggarjati. Pada tanggal 10 November 1946, Belanda melakukan perundingan
linggarjati dengan pemerintah Indonesia. Salah satu isi dari perundingan Linggajati
adalah Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah
kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Selanjutnya Belanda
diharuskan sudah meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari
1949. Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1949 Belanda mendaratkan pasukannya kurang
lebih 2000 tentara di Bali yang diikuti oleh tokoh-tokoh yang memihak Belanda.
Tujuan dari pendaratan Belanda ke Bali sendiri adalah untuk menegakkan
berdirinya Negara Indonesia Timur. Pada waktu itu Letnan Kolonel I Gusti Ngurah
Rai yang menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa Tenggara sedang pergi ke
Yogyakarta untuk mengadakan konsultasi dengan Markas tertinggi TRI, sehingga
dia tidak mengetahui tentang pendaratan Belanda tersebut.
Di saat pasukan Belanda sudah
berhasil mendarat di Bali, perkembangan politik di pusat Pemerintahan Republik
Indonesia kurang menguntungkan akibat perundingan Linggajati, di mana pulau
Bali tidak diakui sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. Pada umumnya
Rakyat Bali sendiri merasa kecewa terhadap isi perundingan tersebut karena
mereka merasa berhak masuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Terlebih lagi ketika Belanda berusaha membujuk Letnan Kolonel
I Gusti Ngurah Rai untuk diajak membentuk Negara Indonesia Timur. Untung saja
ajakan tersebut ditolak dengan tegas oleh I Gusti Ngurah Rai, bahkan dijawab
dengan perlawanan bersenjata Pada tanggal 18 November 1946. Pada saat itu I
Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya Ciung Wanara Berhasil memperoleh kemenangan
dalam penyerbuan ke tangsi NICA di Tabanan. Karena geram, kemudian
Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya di Bali dan Lombok untuk menghadapi
perlawanan I Gusti Ngurah Rai dan Rakyat Bali. Selain merasa geram terhadap
kekalahan pada pertempuran pertama, ternyata pasukan Belanda juga kesal
karena adanya konsolidasi dan pemusatan pasukan Ngurah Rai yang
ditempatkan di Desa Adeng, Kecamatan Marga, Tabanan, Bali. Setelah berhasil
mengumpulkan pasukannya dari Bali dan Lombok, kemudian Belanda berusaha mencari
pusat kedudukan pasukan Ciung Wanara.
Pada tanggal 20 November 1946 I
Gusti Ngurah Rai dan pasukannya (Ciung Wanara), melakukan longmarch ke Gunung
Agung, ujung timur Pulau Bali. Tetapi tiba-tiba di tengah perjalanan, pasukan
ini dicegat oleh serdadu Belanda di Desa Marga, Tabanan, Bali.
Tak pelak, pertempuran sengit pun
tidak dapat diindahkan. Sehingga sontak daerah Marga yang saat itu masih
dikelilingi ladang jagung yang tenang, berubah menjadi pertempuran yang
menggemparkan dan mendebarkan bagi warga sekitar. Bunyi letupan senjata
tiba-tiba serentak mengepung ladang jagung di daerah perbukitan yang terletak
sekitar 40 kilometer dari Denpasar itu.
Pasukan pemuda Ciung Wanara yang saat itu masih
belum siap dengan persenjataannya, tidak terlalu terburu-buru menyerang serdadu
Belanda. Mereka masih berfokus dengan pertahanannya dan menunggu komando dari I
Gusti Ngoerah Rai untuk membalas serangan. Begitu tembakan tanda menyerang
diletuskan, puluhan pemuda menyeruak dari ladang jagung dan membalas sergapan
tentara Indische Civil Administration (NICA) bentukan Belanda. Dengan senjata
rampasan, akhirnya Ciung Wanara berhasil memukul mundur serdadu Belanda.
Namun ternyata pertempuran belum
usai. Kali ini serdadu Belanda yang sudah terpancing emosi berubah
menjadi semakin brutal. Kali ini, bukan hanya letupan senjata yang terdengar,
namun NICA menggempur pasukan muda I Gusti Ngoerah Rai ini dengan bom dari
pesawat udara. Hamparan sawah dan ladang jagung yang subur itu kini menjadi
ladang pembantaian penuh asap dan darah. Perang
sampai habis atau puputan inilah yang kemudian mengakhiri hidup I Gusti Ngurah
Rai.
Peristiwa inilah yang kemudian
dicatat sebagai peristiwa Puputan Margarana. Malam itu pada 20 November 1946 di
Marga adalah sejarah penting tonggak perjuangan rakyat di Indonesia melawan
kolonial Belanda demi Nusa dan Bangsa.
7.
Pertempuran
Laut Aru
Pertempuran Laut Aru
adalah suatu pertempuran yang terjadi di Laut Aru, Maluku, pada tanggal 15 Januari 1962 antara Indonesia dan Belanda. Insiden ini terjadi sewaktu dua kapal jenis destroyer, pesawat jenis
Neptune dan Frely milik Belanda menyerang RI Matjan Tutul (650), RI Matjan Kumbang
(653) dan RI Harimau (654) milik Indonesia yang sedang berpatroli pada posisi 04,49° LS dan 135,02°
BT. Komodor Yos Sudarso gugur pada
pertempuran ini setelah menyerukan pesan terakhirnya yang terkenal,
"Kobarkan semangat pertempuran".
Peristiwa Aru bermula dari suatu operasi rahasia untuk
menyusupkan sukarelawan suku Irian yang telah dilatih oleh TNI-AD ke Irian
Barat. Komando Trikora memang sudah terbentuk, namun misi tersebut dilaksanakan
bukan dalam konteks operasi gabungan. Komando berdiri sendiri sebagai task
force dengan misi tertentu.
Hampir semua kekuatan yang akan dilibatkan dalam
Operasi Trikora belum siap. Bahkan semua kekuatan udara masih stand by di Jawa.
Namun ternyata Angkatan Darat telah mendahului dengan melakukan penyusupan
sukarelawan. Untuk melaksanakan misi itu, AD minta bantuan ALRI untuk
mengangkut pasukan dari Jakarta menuju pantai Irian. Sedangkan AURI hanya
diminta mengerahkan dua pesawat Hercules untuk mengangkut pasukan dari Jakarta
menuju target yang nantinya ditentukan oleh ALRI.
Karena misi itu sangat rahasia, di Mabes AURI hanya
beberapa petinggi yang mengetahui. Walaupun nyatanya tidak rumit, hanya
mengangkut pasukan ke sebuah pangkalan di dalam negeri dengan terbang rendah.
Batas tugas AURI hanya memindahkan pasukan dengan Hercules, selebihnya tidak
menjadi tanggung jawab Mabes AURI.
Pada 12 Januari 1962, pasukan berhasil didaratkan di
Letfuan. Kedua Hercules kembali ke pangkalan, dan AURI pun menjalankan tugas
rutinnya. Namun tanggal 18 Januari muncul situasi yang kurang mengenakkan, saat
ada pimpinan angkatan lain melapor ke Bung Karno bahwa tiadanya perlindungan
dari AURI telah menyebabkan sebuah operasi gagal. Sampai saat itu pihak AURI
belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Ternyata pada 15 Januari telah terjadi kontak senjata
antara armada ALRI dengan AL Belanda di Laut Aru yang menyebabkan gugurnya
Komodor Yos Sudarso dan prajurit-prajurit ALRI lainnya. Kalau dikatakan AURI
tidak melindungi kapal beserta para prajurit ALRI, bukankah tugas AURI hanya
mengangkut pasukan dengan dua Hercules dalam operasi penyusupan ke Irian?
Tidak ada kesalahan dalam peristiwa itu, namun AURI
disalahkan. Padahal mereka yang tahu rumitnya mengkoordinasikan operasi udara,
apalagi dengan pengeboman untuk melindungi kapal perang, pasti akan berpikir
seratus kali lipat untuk menudingkan kesalahan seperti itu. Tapi begitulah.
Orang yang tidak tahu, dan tidak mau tahu, telah menudingkan kesalahan – dan
pemegang kekuasaan tertinggi pun membenarkan.
Hari H untuk pelaksanaan operasi penyusupan adalah
Senin, 15 Januari 1962. Pada H minus tiga (-3), semua kapal ALRI telah merapat
di rendezvous point di sebuah pulau di Kepulauan Aru. Pasukan yang sudah
diturunkan dari Hercules AURI juga sudah diangkut kapal dari Letfuan menuju
pulau tersebut. Pada hari pertama di titik itu, pesawat-pesawat Belanda sudah
datang mengintai. Hal yang sama terjadi pada H -2 dan H -1.
Hari H pukul 17.00 waktu setempat, tiga kapal mulai
bergerak. KRI Harimau berada di depan, membawa antara lain Kol. Sudomo, Kol.
Mursyid, dan Kapten Tondomulyo. Di belakangnya adalah KRI Macan Tutul yang
dinaiki Komodor Yos Sudarso. Sedangkan di belakang adalah KRI Macan Kumbang.
Menjelang pukul 21.00, Kol. Mursyid melihat radar
blips pada lintasan depan yang akan dilewati iringan tiga kapal itu. Dua di
sebelah kanan dan satu di kiri. Blips tersebut tidak bergerak, menandakan
kapal-kapal sedang berhenti. Ketiga KRI kemudian melaju. Tiba-tiba terdengar
dengung pesawat mendekat, lalu menjatuhkan flare yang tergantung pada parasut.
Keadaan tiba-tiba menjadi terang-benderang, dalam waktu cukup lama. Tiga kapal
Belanda yang berukuran lebih besar ternyata sudah menunggu kedatangan ketiga
KRI. Kapal Belanda melepaskan tembakan peringatan yang jatuh di samping KRI
Harimau. Kol. Sudomo memerintahkan untuk balas menembak namun tidak mengenai
sasaran. Komodor Yos Sudarso memerintahkan ketiga KRI untuk kembali. Ketiga
kapal pun serentak membelok 180o. Naas, KRI Macan Tutul macet dan terus
membelok ke kanan. Kapal-kapal Belanda mengira manuver berputar itu untuk
menyerang mereka. Sehingga mereka langsung menembaki kapal itu. Tembakan
pertama meleset, namun tembakan kedua tepat mengenai KRI Macan Tutul. Menjelang
tembakan telak menghantam kapal, Komodor Yos Sudarso meneriakkan perintah,
“Kobarkan semangat pertempuran!”
AURI berada dalam kondisi ditekan karena misi yang
gagal itu. Orang mengira, kekuatan AURI mampu melayang-layang selamanya di
udara dan mengawasi setiap jengkal wilayah RI. Negara superpower seperti AS pun
tidak akan bisa melakukannya di era itu, apalagi kita. Bagaimana pesawat
terbang melaksanakan misi bantuan serangan udara tanpa ada koordinasi
sebelumnya? Bahkan operasi itu sendiri tidak pernah dibicarakan dengan pimpinan
AURI. Namun saat gagal, kesalahan ditimpakan ke pihak AURI. Untuk mengakhiri
polemik, KSAU Suryadarma mengundurkan diri pada 19 Januari 1962. AURI pun
berduka cita.
Hari Sabtu, 20 Januari 1962, diadakan rapat di Istana
Bogor yang dipimpin oleh Bung Karno, untuk mengangkat Laksamana Muda Omar Dhani
sebagai KSAU yang baru. Setelah itu langsung diadakan brifing mengenai
peristiwa Aru. Kolonel Mursyid sebagai komandan tim juga sudah kembali untuk
memberikan paparan. Begitu paparan selesai, suasana di ruang rapat yang
terletak di sayap kiri Istana Bogor itu jadi mencekam, serius, sepi, dan semua
diam. Seakan-akan menikmati rasa kemenangan dan kepahlawanan. Yos Sudarso
gugur, operasi gagal, namun dinilai heroik.
Peristiwa Aru kemudian berlalu begitu saja. Sampai saatnya nanti orang bisa
menilai, pengorbanan batin para pimpinan AURI di masa itu adalah wujud nyata
sikap tertinggi dalam disiplin prajurit, yaitu loyalitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar